Peran guru sebagai pemberi informasi harus bergeser menjadi manajer pembelajaran dengan sejumlah peran-peran tertentu, karena guru bukan satu-satunya sumber informasi melainkan hanya salah satu sumber informasi.
Dalam bukunya yang berjudul “Reinventing Education”, Louis V. Gerstmer, Jr. dkk (1995), menyatakan bahwa di masa-masa mendatang peran-peran guru mengalami perluasan yaitu guru sebagai: pelatih (coaches), konselor, manajer pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang. Sebagai pelatih (coaches), guru harus memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi siswa untuk mengembangkan cara-cara pembelajarannya sendiri sesuai dengan kondisi masing-masing.
Guru hanya memberikan prinsip-prinsip dasarnya saja dan tidak memberikan satu cara yang mutlak. Hal ini merupakan analogi dalam bidang olah raga, di mana pelatih hanya memberikan petunjuk dasar-dasar permainan, sementara dalam permainan itu sendiri para pemain akan mengembangkan kiat-kiatnya sesuai dengan kemampuan dan kondisi yang ada. Sebagai konselor, guru harus mampu menciptakan satu situasi interaksi belajar-mengajar, di mana siswa melakukan perilaku pembelajaran dalam suasana psikologis yang kondusif dan tidak ada jarak yang kaku dengan guru.
Disamping itu, guru diharapkan mampu memahami kondisi setiap siswa dan membantunya ke arah perkembangan optimal.Sebagai manajer pembelajaran, guru memiliki kemandirian dan otonomi yang seluas-luasnya dalam mengelola keseluruhan kegiatan belajar-mengajar dengan mendinamiskan seluruh sumber-sumber penunjang pembelajaran. Sebagai partisipan, guru tidak hanya berperilaku mengajar akan tetapi juga berperilaku belajar dari interaksinya dengan siswa.
Hal ini mengandung makna bahwa guru bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi anak, akan tetapi ia sebagai fasilitator pembelajaran siswa. Sebagai pemimpin, diharapkan guru mampu menjadi seseorang yang mampu menggerakkan orang lain untuk mewujudkan perilaku menuju tujuan bersama.
Disamping sebagai pengajar, guru harus mendapat kesempatan untuk mewujudkan dirinya sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam berbagai kegiatan lain di luar mengajar. Sebagai pembelajar, guru harus secara terus menerus belajar dalam rangka menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas profesionalnya. Sebagai pengarang, guru harus selalu kreatif dan inovatif menghasilkan berbagai karya yang akan digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas profesionalnya.
Guru yang mandiri bukan sebagai tukang atau teknisi yang harus mengikuti satu buku petunjuk yang baku, melainkan sebagai tenaga yang kreatif yang mampu menghasilkan berbagai karya inovatif dalam bidangnya. Hal itu harus didukung oleh daya abstraksi dan komitmen yang tinggi sebagai basis kualitas profesionaliemenya. Oleh karenanya, guru dituntut untuk membuat buku.
Sayangnya saat ini, masih banyak guru kita yang belum melek TIK atau ICT (Information and Communcation Technology). Mengacu pada hal tersebut di atas, sudah saatnya “GERAKAN MELEK ICT (ICT LITERACY MOVEMENT)” menjadi gerakan nasional yang sama “urgent”nya atau lebih “urgent” dibandingkan dengan GERAKAN KELUARGA BERENCANA di jaman Orde Baru dahulu, jaman Presiden Soeharto.
Mudah-mudahan, dengan dibentuknya gerakkan melek ICT di sekolah, para guru dapat memaksimalkan potensi TIK dalam proses pembelajarannya. Pemerintah maupun swasta perlu bekerja sama dalam membantu guru melakukan pelatihan-pelatihan di bidang ICT, seperti penguasaan power point, ngeblog di internet, bikin software untuk bahan ajarnya, seperti menguasai program Macromedia Flash, Camtasia, dan lain sebagainya.
Aplikasi dan potensi TIK dalam pembelajaran di sekolah yang dikembangkan oleh guru dapat memberikan beberapa manfaat antara lain:
a. Pembelajaran menjadi lebih interaktif, simulatif, dan menarik
b. Dapat menjelaskan sesuatu yang sulit / kompleks
c. Mempercepat proses yang lama
d. Menghadirkan peristiwa yang jarang terjadi
e. Menunjukkan peristiwa yang berbahaya atau di luar jangkauan
Kurikulum TIK yang sekarang ini telah dibuat oleh pusat kurikulum yang bekerjsama dengan Badan standar Nasional (BSNP) adalah kurikulum standar yang terdiri dari SK (Standar Kompetensi), dan KD (Kompetensi Dasar) yang masih harus dikembangkan oleh guru itu sendiri dalam mengaplikasikannya sesuai dengan kondisi sekolah.
Guru TIK dituntut untuk membuat kurikulumnya sendiri sesuai dengan SK dan KD dengan berbagai ragam pengayaan yang dimiliki oleh guru di daerahnya masing-masing. Sayangnya, banyak guru yang belum siap membuat kurikulumnya sendiri dan masih banyak guru yang copy and paste dalam membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Padahal dalam KTSP guru diberikan kebebasan untuk berkreativitas dalam memberikan materi pengayaan kepada para peserta didiknya. Sumber https://ibadjournals.blogspot.com/
Selain sebagai media informasi pendidikan, kami juga berbagi artikel terkait bisnis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar